25 Juni 2025

Kisah Haru Diterimanya Tobat Ka’ab bin Malik

0
SOUL-4-Things-You-Need-to-Know-Website-scaled

dok.muslimpro

JAKARTA — Sahabat Nabi Muhammad ﷺ, Ka’ab bin Malik radhiyallahu anhu senantiasa membersamai Rasulullah ﷺ dalam setiap kesempatan. Ka’ab juga senantiasa mengikuti peperangan, akan tetapi pada perang Tabuk ia mangkir tanpa ada uzur syari.

Ka’ab pun memutuskan untuk bertobat dan berani berkata jujur kepada Rasulullah ﷺ terkait alasannya. Kisah haru terkait tobatnya Ka’ab bin Malik terdapat dalam sahih Bukhari dan Muslim. Mengutip Syarah Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi, berikut kisah tobatnya Ka’ab bin Malik:

Dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik, dan ia adalah pembimbing Ka’ab radhiyallahu anhu dari golongan anak-anaknya. Ketika Ka’ab sudah buta matanya, dia berkata, “Aku mendengar Ka’ab bin Malik radhiyallahu anhu menceritakan kisahnya ketika ia tidak turut serta dengan Rasulullah ﷺ dalam Perang Tabuk”.

Ka’ab berkata, “Aku tidak pernah mangkir jihad bersama Rasulullah shallallahu’alaihwasallam kecuali dalam Perang Tabuk. Hanya saja, aku juga pernah mangkir dalam Perang Badar, tetapi beliau tidak menegur seorang pun yang tidak mengikutinya. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ keluar bersama kaum Muslimin untuk mencegat kafilahnya kaum Quraisy, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertemukan antara mereka dengan musuhnya pada waktu yang tidak tertentukan.

Aku juga ikut menyaksikan bersama Rasulullah ﷺ, di malam perjanjian Aqabah saat kami saling berjanji atas dasar Islam. Aku tidak senang seandainya malam Aqabah itu ditukar dengan keterlibatan dalam Perang Badar, sekalipun Perang Badar itu lebih masyhar sebutannya di kalangan banyak orang daripada malam Aqabah. Mengenai kondisiku ketika aku tidak ikut Rasulullah ﷺ dalam Perang Tabuk, aku sama sekali tidak lebih kuat, dan tidak pula lebih ringan dalam perasaanku sewaktu aku tidak mengikuti perang tersebut.

Demi Allah, aku belum pernah mengumpulkan dua kendaraan sebelum Perang Tabuk, sampai akhirnya aku dapat mengumpulkan keduanya di perang tersebut. Rasulullah ﷺ tidak menghendaki suatu perang, melainkan beliau berniat melakukan perang yang berikutnya, hingga terjadinya Perang Tabuk.

Rasulullah ﷺ berangkat dalam Perang Tabuk itu dalam keadaan panas yang sangat, menghadapi perjalanan yang jauh dan sukar, serta menghadapi musuh yang besar. Beliau kemudian menguraikan maksudnya itu kepada kaum Muslimin dan menjelaskan persoalan mereka, supaya mereka dapat bersiap untuk menyediakan perbekalan perang mereka. Beliau memberitahukan kepada mereka tujuan yang dikehendakinya. Kaum Muslimin yang menyertai Rasulullah ﷺ itu banyak sekali, tetapi mereka itu tidak terdaftar dalam sebuah buku yang terpelihara.”

Ka’ab berkata, “Maka, seseorang yang ingin tidak terlibat dalam perang tersebut pasti menyangka bahwa dirinya akan tersamarkan selama tidak ada wahyu yang turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah ﷺ pun berangkat Perang Tabuk itu ketika buah-buahan sedang enak-enaknya dan naungan-naungan di bawahnya sedang nyaman nyamannya. Aku amat senang sekali pada buah-buahan dan naungan itu.

Rasulullah ﷺ bersiap-siap bersama kaum Muslimin. Aku pergi untuk bersiap-siap pula bersama beliau, tetapi aku lalu pulang lagi dan tidak ada sesuatu urusan pun yang aku selesaikan. Aku berkata dalam hati, aku mampu melakukannya jika aku mau. Aku terus berpikir demikian sampai orang-orang giat sekali untuk menyiapkan perbekalan mereka. Di pagi harinya, Rasulullah ﷺ berangkat bersama kaum Muslimin. Namun, aku tidak kunjung menyelesaikan perbekalanku. Lalu aku pulang tanpa melakukan apa-apa.

Aku terus mengulur-ulur waktu sehingga orang-orang telah bergegas dan majulah mereka yang hendak mengikuti perang itu. Aku bermaksud untuk berangkat dan menyusul mereka. Alangkah baiknya, sekiranya aku melaksanakannya Tetapi, hal ini tidak ditakdirkan untuk aku kerjakan. Setelah itu, setiap aku keluar bertemu orang-orang setelah keberangkatan Rasulullah ﷺ, aku merasa sedih karena tidak melihat teladanku. Yang kulihat hanyalah seorang yang dicurigai melakukan kemunafikan, atau orang-orang lemah yang diterima uzurnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah ﷺ tidak mengingatku hingga beliau tiba di Tabuk. Sewaktu beliau duduk di tengah kaumnya di Tabuk, tiba-tiba beliau bertanya, ‘Apa yang dilakukan oleh Ka’ab bin Malik?” Seorang dari Bani Salimah menjawab, “Ya Rasulullah, ia tertahan oleh pakaian indahnya dan keasyikan memandang kebunnya. Kemudian Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu berkata kepadanya, “Buruk sekali yang kaukatakan itu. Demi Allah, ya Rasulullah, kami tidak pernah melihat keadaan Ka’ab itu kecuali yang baik-baik saja.

Rasulullah ﷺ diam. Ketika beliau dalam keadaan seperti itu, maka beliau melihat seseorang yang mengenakan pakaian putih yang tertelan fatamorgana. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Semoga itu adalah Abu Khaitsamah’. Dan ternyata orang itu adalah Abu Khaitsamah al-Anshari, seseorang yang pernah bersedekah dengan satu gantang kurma ketika dicaci oleh kaum munafik.”

Ka’ab berkata, “Setelah berita sampai ke telingaku bahwa Rasulullah ﷺ telah kembali dengan kafilahnya dari Tabuk, maka aku diterkam rasa sedih. Lalu aku mulai berpikir untuk berdusta dan berkata dalam hati, bagaimana caranya supaya dapat terhindar dari murkanya besok, dan aku bisa meminta bantuan dari keluargaku yang cemerlang pendapatnya.

Setelah diberitahukan bahwa Rasulullah ﷺ telah tiba, maka lenyaplah kebatilan dari jiwaku, sehingga aku menyadari bahwa aku tidak akan selamat dari murkanya dengan sesuatu apa pun. Oleh sebab itu, aku membulatkan tekad untuk jujur kepada beliau. Rasulullah ﷺ itu apabila datang dari bepergian, maka yang pertama kali disinggahınya adalah masjid. Kemudian beliau shalat dua rakaat, kemudian duduk di hadapan orang-orang.

Setelah beliau melakukan yang sedemikian itu, maka datanglah orang-orang yang mangkir perang untuk mengemukakan alasan mereka, dan mereka pun bersumpah kepada beliau. Jumlah mereka ada delapan puluh lebih. Beliau menerima alasan-alasan yang mereka kemukakan dalam keadaan terang-terangan itu, memohonkan ampunan untuk mereka, dan menyerahkan apa yang tersimpan dalam hati mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Akhirnya, aku pun datang menghadap beliau. Ketika aku mengucapkan salam kepada beliau, maka beliau tersenyum bagaikan senyum orang yang murka. Beliau bersabda, “Kemarilah!” Aku mendatanginya sambil berjalan, sehingga aku duduk di hadapannya. Kemudian beliau bertanya kepadaku. Apa yang menyebabkan engkau mangkir? Bukankah engkau telah membeli unta untuk kendaraanmu?”

Ka’ab berkata, “Aku lalu menjawab, “Ya Rasulullah, demi Allah, seandainya aku duduk di depan orang lain yang ahli dunia, bukan di depanmu, maka aku pasti berpikir untuk menghindari kemurkaannya dengan mengemukakan suatu alasan. Sebenarnya aku telah dikaruniai kepandaian dalam bercakap-cakap. Tetapi, demi Allah, seandainya hari ini aku berbicara bohong kepadamu supaya engkau rela dengan ucapanku itu, maka sesungguhnya Allah pasti membuatmu marah kepadaku. Sebaliknya, jika aku berkata jujur kepadamu, maka engkau pasti akan marah kepadaku. Sungguh, aku benar-benar mengharapkan balasan dari Allah. Demi Allah, aku tidak punya alasan. Demi Allah, aku sama sekali tidak lebih kuat, dan tidak lebih mudah dibanding saat aku tidak turut serta bersamamu.”

Ka’ab berkata, “Lalu Rasulullah ﷺ bersabda. Orang ini bicara benar. Oleh sebab itu, berdirilah sampai Allah memberikan keputusan-Nya tentang dirimu. Ada beberapa orang dari golongan Bani Salimah yang berjalan mengikutiku. Mereka berkata, Demi Allah, sepengetahuan kami, kau tidak pernah berbuat dosa sebelum saat ini. Engkau agaknya tidak akan mampu. Mengapa engkau tidak mengemukakan alasan kepada Rasulullah ﷺ sebagaimana alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang mangkir jihad itu? Sebenarnya istighfar Rasulullah ﷺ untukmu telah cukup melindungimu dari akibat dosamu.”

Ka’ab berkata, “Demi Allah, orang-orang itu tidak henti-hentinya menegurku sampai aku ingin kembali saja kepada Rasulullah ﷺ untuk berdusta. Kemudian aku berkata kepada orang-orang itu, Apakah ada orang lain yang mengalami peristiwa seperti yang kualami?” Mereka menjawab, “Ya, ada dua orang yang mengalami keadaan seperti itu. Keduanya berkata sebagaimana yang engkau katakan, dan mereka diberi saran seperti saran kepadamu.”

Ka’ab berkata. “Aku bertanya, ‘Siapa dua orang itu? Mereka menjawab, “Murarah bin Ra biah al-Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi.” Ka’ab berkata, “Mereka memberitahuku tentang dua orang saleh yang terlibat dalam Perang Badar dan dapat dijadikan sebagai teladan. Aku berkata, ‘Maka, aku tetap berpegang pada sikapku ketika mereka memberitahuku dua orang tersebut Rasulullah ﷺ melarang bercakap-cakap dengan kami, orang-orang yang tidak mengikuti perjalanan beliau itu.”

Ka’ab berkata, “Orang-orang menjauhi kami” Dalam riwayat lain ia berkata. “Orang-orang berubah sikap terhadap kami bertiga, sehingga bumi ini tampak asing bagiku. Ini bukan bumi yang aku kenal sebelumnya. Kami bertiga dalam kondisi demikian selama lima puluh hari. Adapun dua temanku, keduanya menetap dan duduk-duduk di rumahnya sambil menangis. Sedangkan aku sendiri yang termuda di antara kami bertiga dan lebih tahan. Oleh sebab itu, aku keluar untuk shalat berjamaah bersama kaum Muslimin dan berkeliling ke pasar-pasar, tetapi tidak seorang pun yang berbicara kepadaku.

Aku pernah mendatangi Rasulullah ﷺ dan mengucapkan salam saat beliau ada di majelisnya sehabis shalat. Aku berkata dalam hatiku, apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku itu atau tidak. Kemudian aku shalat di dekat beliau dan aku mencuri pandang kepada beliau. Jika aku mulai mengerjakan shalat, maka beliau melihatku. Tetapi jika aku menoleh kepadanya, maka beliau pun memalingkan mukanya dariku. Hingga setelah terasa amat lama sekali sikap diam kaum Muslimin terhadapku, maka aku berjalan dan memanjat tembok kebun rumah Abu Qatadah, anak pamanku dan orang yang aku cintai.

Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah ia tidak menjawab salamku itu. Kemudian aku berkata kepadanya, “Ya Abu Qatadah, aku hendak bertanya padamu karena Allah. Apakah engkau mengetahui bahwa aku ini mencintai Allah dan Rasul-Nya ﷺ. la diam, dan aku pun bertanya lagi kepadanya, namun ia tetap diam saja. Akhirnya aku bertanya sekali lagi, dan ia menjawab, Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui tentang itu. Maka mengalirlah air mataku, lalu aku beranjak pergi dan memanjat tembok.

Ketika aku berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba ada seorang yang lusuh dari negeri Syam yang datang dengan membawa makanan untuk dijualnya di Madinah. Orang itu berkata, ‘Siapakah yang bisa menunjukkan kepadaku mana yang bernama Ka’ab bin Malik?’ Orang-orang menunjuk ke arahku, sehingga orang itu pun mendatangi tempatku, kemudian menyerahkan sepucuk surat dari Raja Ghassan. Aku memang orang yang dapat menulis. Maka surat itu pun kubaca, dan ternyata isi surat itu adalah,

‘Kami mendengar bahwa sahabatmu telah mendiamkanmu. Allah tidaklah menjadikan engkau untuk dihina atau dihilangkan hak-haknya. Maka, bergabunglah bersama kami, niscaya kami akan menggembirakan hatimu.’

Kemudian aku berkata setelah selesai membacanya itu, ‘Ini juga termasuk bencana.’ Lalu aku menuju ke dapur dengan membawa surat tersebut dan membakarnya.

Setelah empat puluh hari berlalu dari lima puluh hari, sedangkan wahyu tidak kunjung turun, maka tiba-tiba seorang utusan Rasulullah ﷺ datang kepadaku dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah ﷺ memerintahkan kepadamu supaya engkau menjauhi istrimu. Aku bertanya, Apakah aku harus menceraikannya, atau apa yang harus aku lakukan?’ la berkata, “Tidak usah menceraikan, tetapi menjauhlah darinya. Jangan sekali-kali engkau mendekatinya. Rasulullah ﷺ juga mengirim utusan kepada kedua sahabatku. Lalu aku berkata pada istriku, ‘Pergilah ke tempat keluargamu dan beradalah di sisi mereka hingga Allah memutuskan peristiwa ini.’

Istri Hilal bin Umayyah mendatangi Rasulullah ﷺ, lalu berkata kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah itu seorang yang amat tua, sebatang kara, dan tidak mempunyai pelayan. Apakah engkau tidak senang seandainya aku tetap melayaninya? Beliau menjawab, “Tidak apa-apa, tetapi jangan sekali-kali ia mendekatimu. Wanita itu berkata lagi, ‘Demi Allah, sesungguhnya Hilal sudah tidak mempunyai hasrat terhadap apa pun. Demi Allah, ia terus menangis sejak terjadinya peristiwa itu hingga hari ini. Sebagian keluargaku berkata kepadaku, Sebaiknya kau meminta izin kepada Rasulullah ﷺ dalam persoalan istrimu itu. Karena, beliau telah mengizinkan istri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayaninya.

Aku berkata, ‘Aku tidak akan meminta izin untuk istriku kepada Rasulullah ﷺ Aku tidak tahu apa yang akan diucapkan oleh Rasulullah ﷺ sekiranya aku meminta izin kepada beliau tentang istriku itu, karena aku masih muda. Aku tetap dalam keadaan demikian tanpa istri selama sepuluh malam, sehingga genap lima puluh hari sejak kaum Muslimin dilarang bercakap-cakap dengan kami. Lalu aku shalat Shubuh pada pagi hari kelima puluh itu di muka rumah salah satu rumah kami.

Ketika aku sedang duduk dalam keadaan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diri kami itu, maka jiwaku menjadi sempit, dan bumi pun terasa sempit meskipun sebenarnya ia luas. Lalu aku mendengar suara teriakan seseorang yang berada di atas Gunung Sala, dan berkata dengan suara yang amat keras, ‘Hai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!’ Setelah mendengar itu, aku bersujud dan aku yakin bahwa telah datang jalan keluar untukku. Rasulullah ﷺ memberitahukan orang-orang bahwa tobat kami bertiga telah diterima oleh Allah sewaktu beliau shalat Shubuh.

Maka, orang-orang menyampaikan berita gembira itu kepada kami, dan ada pula pembawa kabar gembira itu kepada kedua sahabatku. Ada seorang dari Aslam yang melarikan kudanya dengan cepat-cepat menuju tempatku, dengan menaiki gunung, namun suaranya lebih cepat daripada kuda. Setelah orang yang suaranya kudengar saat memberi berita gembira itu datang kepadaku, maka aku melepaskan kedua bajuku dan aku berikan kepadanya untuk dipakai, sebagai hadiah dari berita gembira yang disampaikannya itu. Demi Allah, pada waktu itu aku tidak mempunyai pakaian selain kedua pakaian tersebut. Maka, aku pun meminjam dua buah baju, memakainya, lalu berangkat menuju ke tempat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Orang-orang menyambut kedatanganku sekelompok demi sekelompok untuk memberi ucapan selamat atas diterimanya tobatku. Mereka berkata kepadaku, Selamat atas diterimanya tobatmu oleh Allah. Sampai akhirnya aku memasuki masjid, dan saat itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sedang duduk dikeliling orang-orang. Thalhah bin Ubai-dillah radhiyallahu anhu lalu berdiri cepat-cepat kemudian menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada seorang pun dari golongan Muhajirin yang berdiri selain Thalhah.”

Oleh sebab itu, Ka’ab tidak akan melupakan perbuatan Thalhah tersebut. Ka’ab berkata, “Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ beliau tampak berseri-seri karena gembira, lalu bersabda, Bergembiralah dengan sebaik-baik hari yang pernah engkau alami sejak engkau dilahirkan oleh ibumu. Aku bertanya, Apakah itu datang darimu, ya Rasulullah, ataukah dari sisi Allah? Beliau menjawab, Tidak dariku, tetapi dari Allah. Rasulullah ﷺ apabila gembira hatinya, maka wajahnya pun bersinar indah, seolah-olah wajahnya itu adalah bulan purnama. Kami semua mengetahui hal itu. Setelah aku duduk di hadapannya, maka aku berkata, ‘Ya Rasulullah, di antara bentuk tobatku adalah kulepaskan hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya.’

Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tahanlah untukmu sendiri sebagian hartamu itu, sebab yang sedemikian itu adalah lebih baik.’ Aku menjawab, ‘Sebenarnya aku telah menahan bagianku yang ada di tanah Khaibar’ Selanjutnya aku berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan diriku karena kejujuranku. Maka, sebagai tanda tobatku adalah aku tidak akan berkata kecuali yang benar selama aku hidup.’

Demi Allah, belum pernah aku melihat seorang pun dari kaum Muslimin yang diberi cobaan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan perkataan yang jujur, sejak aku menyebutkan hal itu kepada Rasulullah ﷺ (cobaan) yang lebih baik daripada cobaan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku. Demi Allah, aku tidak bermaksud berdusta sedikit pun sejak aku mengatakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ sampai hari ini, dan aku berharap semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungiku dari berdusta selama aku hidup.”

Ka’ab berkata, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat.

“Sungguh, Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang orang Anshar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit… sampai ayat,… Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat. Maha Penyayang.” (at-Taubah ayat 117-118)

Ka’b berkata, “Demi Allah, belum pernah Allah mengaruniakan kenikmatan kepadaku sama sekali setelah aku memperoleh petunjuk dari Allah untuk memeluk agama Islam ini. Kenikmatan itu lebih besar bagi perasaan jiwaku melebihi kejujuranku kepada Rasulullah ﷺ untuk tidak berbohong kepada beliau. Sehingga andaikata demikian, tentulah aku akan binasa sebagaimana orang-orang yang berdusta itu binasa. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman kepada orang-orang yang berdusta ketika diturunkannya wahyu, yaitu suatu kata-kata terburuk yang pernah difirmankan Allah kepada seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan tempat mereka neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan rida kepada orang-orang yang fasik” (at-Taubah: 95-96)

Ka’ab berkata, “Keputusan kami ditunda, berbeda dengan perkara orang-orang yang diterima sumpahnya oleh Rasulullah ﷺ. Lalu beliau membaiat mereka dan memohonkan ampun untuk mereka. Rasulullah ﷺ menunda urusan kami bertiga hingga Allah memberikan keputusan terhadapnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Dan juga kepada tiga orang yang ditinggalkan….Kata khullifnaa (mereka ditinggalkan) bukan berarti tertinggal perang, melainkan penundaan keputusan oleh Rasulullah ﷺ. Tidak seperti orang yang bersumpah dan mengajukan alasan kepada beliau, lalu beliau menerima sumpah dan alasannya. (Muttafaq ‘alaih)

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Rasulullah ﷺ berangkat ke Perang Tabuk pada hari Kamis, dan beliau memang suka berang kat pada hari Kamis.”

Dalam riwayat lain disebutkan pula, “Beliau tidak datang dari suatu perjalanan melainkan di siang hari pada waktu dhuha. Jika beliau datang, beliau lebih dulu masuk ke dalam masjid, lalu shalat dua rakaat, lalu duduk di dalamnya.”

Hadits ini diriwayatkan Bukhari dalam kitab Para Nabi bab “Riwayat tentang Bani Israil” (6/373, 374), dan Muslim dalam kitab Tobat bab “Diterimanya Tobat Orang yang Membunuh” (2766).

Mutiara-Mutiara Hadits

  1. Keterbukaan seorang Muslim, kejujurannya, pengakuannya atas kesalahannya, dan sikapnya tidak membuat alasan untuk menyembunyikan kesalahannya.
  2. Langkah bijak Rasulullah ﷺ dalam kaitannya dengan masalah militer, seperti menjaga kerahasiaan strategi, membaca situasi dengan baik, tidak mengiming-imingi prajurit, dan menghadapkan mereka pada fakta sebenarnya menyadari tingkat kesulitan tugas yang dibebankan pada pundak mereka.
  3. Kaum Muslimin menyambut dengan cepat seruan berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala walau mereka berada dalam keadaan sulit dan susah.
  4. Tidak ada keraguan dalam menjalankan ketaatan, dan bersegera mempersiapkan bekal.
  5. Seorang Muslim tidak merasa nyaman apabila tidak dapat melakukan kewajibannya, dan ia mempunyai tekad yang kuat untuk tidak termasuk orang-orang yang berpaling dari perang atau menjadi munafik.
  6. Keterbukaan dan kejujuran para sahabat kepada Nabi ﷺ, serta berani mengucapkan kebenaran walaupun merugikan mereka sendiri.
  7. Menyikapi kondisi manusia berdasarkan lahiriahnya saja, sedangkan hal-hal yang bersifat batiniah diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  8. Orang munafik tidak dapat lepas dari tanggung jawab walaupun ia dapat bebas dengan berbagai macam alasan.
  9. Meneladani kehidupan orang-orang saleh dan orang-orang bertakwa, serta mencoba meniru mereka dalam perilaku dan akhlak yang mulia.
  10. Tidak memedulikan orang munafik dan orang fasik, karena keburukan dan kebusukan mereka akan terbongkar suatu saat.
  11. Wajib menjauhi orang yang menampakkan maksiatnya, dengan cara tidak berkumpul bersamanya, tidak mengucapkan salam dan tidak menjawab salamnya, dan pemutusan hubungan lainnya yang membuatnya merasa hina, sehingga ia menarik diri dari maksiat dan memperlihatkan tobatnya.
  12. Penyesalan seorang mukmin dan kesedihannya atas maksiat yang telah dikerjakannya, serta meratapi balasan atas apa yang telah ia kerjakan.
  13. Tegasnya sanksi yang diberikan agama Islam dalam mengisolasi pelaku maksiat, walaupun dengan mengisolasi mereka secara sosial, agar dapat memberikan nilai pendidikan yang kuat.
  14. Anjuran untuk melakukan hal-hal yang dapat menjadi penyebab datangnya rahmat, turunnya ampunan, dan diterimanya tobat.
  15. Sikap lemah lembut orang yang melakukan kesalahan dengan mendatangi orang yang perlu dimintai maaf terkait dengan kesalahannya.
  16. Kemuliaan akhlak Rasulullah ﷺ kasih sayang beliau kepada para sahabatnya, dan kegembiraan beliau terhadap ke baikan yang mereka lakukan.
  17. Seorang mukmin akan mendapatkan cobaan berkaitan dengan urusan agama dan dunianya. Barangsiapa dikehendaki Allah memperoleh kebaikan, maka dia bersikap jujur kepada-Nya dan teguh pada sikapnya.
  18. Seorang mukmin lebih mengutamakan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Rasul-Nya daripada kepada selain keduanya.
  19. Barangsiapa berbuat maksiat yang diduga kuat ada unsur kemunafikan dan kekufuran di dalamnya, maka istrinya tidak wajib memberikan pelayanan kepadanya
  20. Anjuran untuk memberikan kabar gembira tentang kebaikan, memberikan hadiah kepada orang yang menyampaikan berita gembira, menyampaikan ucapan selamat sesuai dengan situasinya.
  21. Makruh menyedekahkan semua hartanya, supaya keluarganya tidak terjerumus pada kemiskinan dan menjadi peminta-minta.
  22. Pengaruh kejujuran bagi keselamatan manusia di dunia dan di akhirat.
  23. Bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya dan diterimanya tobat oleh-Nya, serta maaf-Nya terhadap orang-orang yang berbuat dosa lalu bertobat.
  24. Kewajiban menjaga janji, dan berbuat taat setelah mengerjakan maksiat.
  25. Kebahagiaan seorang mukmin karena diterima tobatnya dan dianugerahi tau-fiq-Nya untuk selalu bersikap benar dan jujur.
  26. Hadits di atas memiliki banyak manfaat dan pelajaran, namun kami hanya membatasi pada hal-hal yang sangat penting saja yang berkaitan dengan masalah tobat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *