JAKARTA — Sebagian kaum muslim merayakan maulid Nabi pada 12 Rabi’ul Awal kalender Hijriah. Bagaimana sejarah dari perayaan Maulid Nabi? Apakah ini sudah diadakan semenjak zaman para sahabat Nabi Muhammad ﷺ?

Mengutip buku Polemik Perayaan Maulid Nabi ﷺ oleh Abu Ubaidah, ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah Azza wa Jalla memberi pemahaman kepadamu- bahwa perayaan maulid Nabi tidaklah dikenal di zaman Nabi ﷺ, para sahabat, para tabiin dan tabi’ut tabiin. Dan tidak dikenal oleh Imam-imam madzhab: Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i sekalipun. Karena memang perayaan ini adalah perkara baru atau bid’ah.

Adapun orang yang pertama kali mengadakannya adalah Bani Ubaid Al-Gaddakh yang menamai diri mereka dengan ‘Fathimiyyun’. Mereka memasuki kota Mesir tahun 362 H. Dari sinilah kemudian mulai tumbuh berkembang perayaan maulid secara umum dan maulid Nabi ﷺ secara khusus.

Al-Imam Ahmad bin Ali Al-Magrizi rahimahullah -seorang ulama ahli sejarah mengatakan: “Para khalifah Fathimiyun”‘ mempunyai perayaan yang bermacam-macam setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, perayaan Asyura, perayaan maulid Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan, maulid Husain, maulid Fathimah Az-Zahra dan maulid khalifah. Perayaan awal bulan Rajab, awal Sya’ban, nisfu Sya’ban, awal Ramadhan, pertengahan Ramadhan dan penutupan Ramadhan ….”

Mereka adalah orang-orang dari daulah Ubaidiyyah yang beraqidah Bathiniyyah, merekalah yang dikatakan oleh imam al-Ghozali rahimahullah : “Mereka menampakkan sebagai orang rofidhoh syi’ah, padahal sebenarnya mereka adalah murni orang kafir.”

Pendapat yang mengatakan bahwa Bani Ubaid tersebut adalah pencetus pertama perayaan maulid ditegaskan oleh alMagrizi dalam al-Khuthoth 1/280, al-Qolqosynadi dalam Shubhul A’sya 3/398, as-Sandubi dalam Tarikh Ihtifal bil Maulid, Muhamad Bukhait al-Muthi’i dalam Ahsanul Kalam, Ali Fikri dalam Muhadhorot serta Ali Mahfudz dalam al-Ibda’

Dan orang yang pertama merayakan bid’ah maulid ini di Irak Syaikh al Mushil Umar Muhammad al Mula pada abad keenam dan kemudian diikuti oleh Raja Mudhafir Abu Said Kaukaburi (raja Irbil) pada abad ketujuh dengan penuh kemegahan!

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, dalam biografi Abu Said berkata: “Dia merayakan peringatan maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awal dengan amat mewah. As-Sibt berkata, “Sebagian orang yang hadir di sana menceritakan bahwa dalam hidangan raja Mudhafir disiapkan lima ribu daging panggang, sepuluh ribu daging ayam, seratus ribu gelas susu dan tiga puluh ribu piring makanan ringan ….”

Hingga beliau (Ibnu Katsir) berkata, “Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan orang orang sufi (betapa serupanya dahulu dengan sekarang). Sang raja pun menjamu mereka. Bahkan bagi orang-orang sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi mulai waktu Zuhur hingga fajar, dan raja pun juga ikut berjoget bersama mereka.”

Ibnu Khallikan juga berkata: “Bila tiba awal bulan Shafar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan para penyanyi, ahli penunggang kuda, dan pelawak. Pada hari-hari itu manusia libur kerja karena ingin bersenang-senang di kubah-kubah tersebut bersama para penyanyi… dan bila maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, dengan diringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba di lapangan…” Hingga beliau (Ibnu Khallikan) berkata, “Pada malam maulid, raja mengadakan nyanyian setelah shalat Maghrib di benteng.”

Demikianlah sejarah awal mula perayaan maulid Nabi ﷺ yang penuh dengan hura-hura, pemborosan, dan kemaksiatan. Na’udzubillahi.

Bila ada yang berkata: Bukankah Raja Irbil adalah orang yang shalih?! Kami katakan: Allah lebih mengetahui tentang keadaan sebenarnya, hanya saja Yaqut al-Hamawi (beliau adalah salah seorang yang hidup sezaman dengan raja Mudhoffar) berkata: “Sifat raja ini banyak kontradiksi, dia sering berbuat zalim, tidak memperhatikan rakyatnya serta senang mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar.”

Anggaplah dia adalah orang shalih, tetap tidak boleh diterima meskipun datang dari siapapun, karena adanya nash-nash yang tegas mencela perbuatan bid’ah, tidak mungkin kita menentang hadits-hadits tersebut hanya dengan perbuatan raja Mudhoffar, adapun tentang keberadaan beliau sebagai seorang raja yang adil, maka hal ini sama sekali tidak berkonsekwensi bahwa beliau seorang yang ma’shum.

Setelah keterangan ini, maka termasuk perkara aneh bin ajaib di negeri kita adalah tersebarnya keyakinan di sebagian kaum muslimin, bahwa yang pertama kali mengadakan acara Maulid Nabi adalah Sholahuddin al-Ayyubi saat perang Salib untuk menyemangati kaum muslimin melawan pasukan kafir. Ini adalah sebuah kebohongan, karena yang pertama kali membuat bid’ah ini adalah orang-orang Bathiniyyah dari kerajaan Ubaidiyyah yang mereka menamakannya dengan daulah Fathimiyyah.

Bahkan ini merupakan pemutarbalikan fakta sejarah, sebab Sholahuddin Ayyubi dikenal berupaya untuk menghancurkan Ubaidiyyah dan Ubaidiyyah juga sangat tidak suka kepada Sholahuddin Ayyubi, bahkan mereka berusaha untuk membunuh beliau beberapa kali.

“Barangsiapa yang mempelajari sejarah, niscaya dia akan dapat memastikan bahwa Sholahuddin Al-Ayyubi adalah seorang raja dan panglima Islam yang telah melenyapkan perayaan maulidan dari permukaan negeri kaum muslimin. Sedangkan mereka yang mengatakan sebaliknya bahwa Sholahuddin adalah seorang yang telah memarakkan maulidan, maka pernyataan tersebut tidak memiliki bukti sama sekali”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *