24 Januari 2025

Muslim Merayakan Tahun Baru, Bolehkah?

0
Muslim Merayakan Tahun Baru, Bolehkah?

Kembang api dok.istock

JAKARTA — Beberapa hari lagi akan memasuki tahun baru masehi, sebagian besar orang berencana mengadakan perayaan untuk menyambut 2025. Bagaimana dengan seorang muslim yang ikut merayakan tahun baru, bolehkah mengikutinya?

Melalui pesan singkat Pendakwah Lulusan Markaz Dakwah Syeikh Utsaimin, Unaizah, Qasim, Arab Saudi 2004-2008, Ustadz Abu Ubaidah menjelaskan, Dari Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi bersabda:

“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah perjalanan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehingga mereka memasuki lubang dhab (hewan sejenis biawak di Arab) maka kalian juga akan mengikuti mereka. Sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah apakah mereka Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab, Siapa lagi kalau bukan mereka?'” (HR. Bukhari 7325 dan Muslim 2669)

Hadits ini merupakan mukjizat Nabi karena sungguh mayoritas umatnya ini telah mengikuti sunnah perjalanan kaum Yahudi dan Nasrani, baik dalam gaya hidup, berpakaian, syiar-syiar agama, dan adat-istiadat. Dan hadits ini lafazhnya berupa khabar yang berarti larangan mengikuti jalan-jalan selain agama Islam.” (Taisirul Aziz Al Hamid, hlm. 23)

“Ketahuilah wahai saudaraku bahwa perayaan tahunan dalam Islam hanya ada dua macam, idul fithri dan idul adha,” kata Ustadz Abu Ubaidah.

Dalam sebuah hadits disebutkan,

Dari Anas bin Malik radiallahuanhu berkata: “Tatkala Nabi datang ke kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk bersenag gembira sebagaimana di waktu jahiliyyah, lalu beliau bersabda: “Saya datang kepada kalian dan kalian memiliki dua hari raya untuk bersenang gembira sebagaimana di waktu jahiliyyah. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik, idhul adha dan idhul fithri”. (HR. Ahmad 3/103, Abu Dawud 1134 dan Nasai 3/179)

Ustadz Abu Ubaidah mengatakan, Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam tidak ingin kalau umatnya membuat-buat perayaan baru yang tidak disyariatkan Islam. Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rojab: “Sesungguhnya perayaan tidaklah diadakan berdasarkan logika dan akal sebagaimana dilakukan oleh Ahli kitab sebelum kita, tetapi berdasakan syari’at dan dalil”. (Fathul Bari 1/159, Tafsir Ibnu Rojab 1/390).

Beliau juga berkata: “Tidak disyariatkan bagi kaum muslimin untuk membuat perayaan kecuali perayaan yang diizinkan Syariat yaitu idhul fithri, idhul adha, hari-hari tasyriq, ini perayaan tahunan, dan hari jumat, ini perayaan mingguan. Selain itu, menjadikannya sebagai perayaan adalah bidah dan tidak ada asalnya dalam syariat” (Lathoiful Maarif hlm. 228)

“Dalam penelitian sejarah, ternyata perayaan tahun baru pertama kali dilakukan oleh orang-orang kafir. Ditambah lagi, perayaan tahun baru tak lepas dari kemunkaran dan dosa,” kata Ustadz Abu Ubaidah.

Di antara kemunkaran tahun baru yakni:

  • Meniup terompet (kebiasaan Yahudi),
  • Memukul lonceng (kebiasaan Nashoro),
  • Menyalakan kembang api (api simbol Majusi dan tuhan mereka),
  • Minum minuman keras,
  • Campur baur lelaki perempuan
  • Pemborosan harta
  • Dan lain-lain.

“Kalau saja perayaan ini buatan kaum muslimin maka hukumnya tidak boleh, lantas bagaimana kiranya jika itu buatan kafirin yang membawa kerusakan di muka bumi? Perayaan ini persis seperti yang dikatakan oleh Al Imam As Suyuthi rahimahullah tentang Natal,” kata Ustadz Abu Ubaidah.

Beliau berkata: “Di antara perayaan bid’ah yang diadakan oleh banyak manusia di musim dingin dengan anggapan itu adalah hari lahirnya Isa dengan banyak kemunkaran di malam tersebut seperti menyalakan api, makan-makan, beli lilin dan sebagainya, membuat perayaan seperti ini adalah agama kaum Nashara, tidak ada dasarnya dalam agama Islam, juga tidak pernah disebutkan oleh para salaf dahulu, bahkan ini asalnya diambil dari Yahudi dan Nashara, ditambah juga karena sebab tabii yaitu musim dingin sehingga butuh nyalakan api”. (Al Amru Bil Ittiba’ wa Nahyu Anil Ibtida’ hlm. 145)

Islam melarang pemeluknya mengikuti non muslim dari kalangan Yahudi, Nashoro, Majusi, dan lain-lain dalam hal pakaian, perayaan, dan lain-lain.

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50, dishahihkan Ahmad Syakir dan Al Albani)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *